Renungan Dan Motivasi ( Prinsip Berdagang Untuk Masa Depan )
KesederhanaanOrang-orang Cina terkenal Sederhana, kekayaan yang dia peroleh tidak semua dikonsumsi habis. Namun mereka menabung atau menginvestasikan sebagian pendapatannya. Ada filsafat Cina yang berbunyi : “Hiduplah nikmat, maka nanti kau akan sengsara". Orang-orang yang sukses dibentuk dari kehidupan yang sulit’. Jadi dalam berusaha, banyak pengusaha yang awalnya bersusah-susah dahulu, kemudian baru ketika sudah kaya, mulai bersenang-senang kemudian. Misalnya saja pengusaha besar Eka Tjipta Widjaja ketika masih muda, dia menjadi tukang pel pelabuhan atau pemungut sampah. Selain itu, karena biaya hidup yang tinggi disebabkan oleh alokasi keuangan, maka dia juga sebisa mungkin menghemat apa yang bisa ia konsumsi.
Kesederhanaan dan keprihatinan orang Cina bukan karena mereka tidak mempunyai uang, tapi mereka memang menggunakan uang begitu sangat disiplin dan perhitungan. Orientasi mereka bukan untuk sesaat tetapi berfikir panjang dan jauh.
Dalam mengelola keuangan, orang Cina lebih hati-hati dan terkesan pelit, karena mereka sangat malu bila harus hutang uang pada orang lain kalau kepepet, jadi akibatnya mereka selalu berusaha menabung untuk cadangan, karena sikap inilah mereka jarang konsumtif, dan akibatnya bisa melipatkan modalnya.
Bangsa Cina sudah terbiasa hidup Sederhana. Mereka bisa bikin motor atau mobil. Mereka juga bisa meniru sepeda motor model Harley Davidson. Meskipun demikian, mereka jarang naik sepeda motor. Orang Cina, kalau mau bepergian yang jaraknya kurang dari 1 km, maka mereka memilih jalan kaki; kalau lebih dari 1 km, mereka memilih naik sepeda; dan kalau lebih dari 5 km, maka mereka memilih naik bus. Kalau sudah kaya betul, baru mereka mempunyai mobil; itupun jarang dipakai, karena mereka lebih suka naik bus sekalipun sudah mempunyai mobil sendiri. Alasan mereka sederhana dan rasional, yaitu lebih hemat, lebih sehat, lebih selamat, dan anti polusi.
Pekerja Keras dan Cerdas
Orang Cina itu pekerja keras dan cerdas. Orang Cina; kalau ayahnya jualan kacang buntelan, maka pada saat anaknya nanti, usahanya sudah menjadi pabrik kacang. Jadi, untuk faktor entrepreneurship, mungkin Cina nomor satu di dunia.
Orang Cina karena telah digemleng dalam kesusahan dalam kehidupannya, maka alami berusaha sekuat tenaga dan memeras otak untuk survive. Persis jika orang tercebur di air maka akan meronta-ronta supaya kepalanya tetap di atas air untuk bernafas dan tetap hidup.
Di Cina, sebulan umumnya bekerja 60 jam, enam hari seminggu. Meski sekitar 20 jam di antaranya terhitung lembur, tapi mereka tidak mendapat upah tambahan dari kerja ekstra itu. Umumnya, kaum pekerja keras itu mengaku tak punya pilihan kecuali lembur dan menganggap hal itu memang sudah menjadi tugas mereka, sehingga memang tidak perlu upah tambahan. Disebutkan bahwa sedikitnya di tiga kota Cina, 51 persen orang yang lembur selama hari kerja tak mendapatkan upah tambahan.
Jadi, bekerja keras dalam arti lebih lama dari aturan kerja yang berlaku secara formal misalnya, lima hari kerja, 40 jam seminggu dengan menggunakan kemampuan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup sehari-hari, agaknya sudah menjadi kecendrungan yang sulit dibendung. Semakin banyak pekerja merasa memang begitulah seharusnya, terutama ketika mereka menginginkan karier dan kehidupan yang lebih baik.
Kerja keras seolah-olah menjadi jalan satu-satunya. Hal ini tentu tidak terlalu perlu dipersoalkan jika kita memiliki pekerjaan yang kita senangi, pekerja yang sesuai dengan bakat dan potensi terbaik kita, dan pekerjaan yang memberikan hasil-hasil terbaik, baik kepada kita maupun masyarakat dan lingkungan dimana kita maupun kepada masyarakat dan lingkungan dimana kita mengabdi. Seper Oprah Winfrey yang menemukan “tempatnya” yang unik di dunia ini, ia mungkin melakukan pekerjaan tanpa merasa “bekerja”.
Berani Mengambil Resiko
Berani mengambil resiko termasuk resiko gagal, rugi ataupun jatuh usaha dagangnya. Berdagang adalah suatu kegiatan yang penuh resiko dan tidak ada jaminan dengan berdagang orang akan untung, oleh karena itu setiap kegiatan perdagangan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukan dilakukan sambil lalu. Orang yang berani maka harus berani mencoba, membuka dan memajukan perdagangannya. Musuh utama para pedagang adalah takut bersaing dan takut gagal.
Orang Cina itu sudah sejak 4.000 tahun berada dalam kesusahan. Negara Cina dari jaman dulu terbiasa dengan perang, rakyat kecil disiksa oleh pemerintahnya sendiri, dan pemerintahnya berganti-ganti terus. Orang Cina adalah salah satu bangsa yang tahan banting. Sudah biasa menderita, dan makin menderita, biasanya orang akan makin nekad dan makin berani.
Pedagang Cina juga percaya pada takdir, tapi mereka tidak mau menyerah kepada nasib. Artinya. Nasib harus diperjuangkan, harus dilawan dengan bekerja keras. Karena mereka percaya bahwa nasib manusia itu ibarat roda, sesekali di atas dan sesekali di bawah. Jadi, tidak mungkin manusia selamanya berada di bawah. Dalam arti, manusia bisa mengatasi kemiskinan asalkan dia mau berusaha. Makin keras dan kuat usahanya, makin besar pula kemungkinan untuk melepaskan diri dari kemiskinan.
Kisah Kakek Penjual Amplop
Kisah nyata ini ditulis oleh seorang dosen ITB
bernama Rinaldi Munir mengenai seorang kakek yang tidak gentar berjuang
untuk hidup dengan mencari nafkah dari hasil berjualan amplop di Masjid
Salman ITB. Jaman sekarang amplop bukanlah sesuatu yang sangat
dibutuhkan, tidak jarang kakek ini tidak laku jualannya dan pulang
dengan tangan hampa. Mari kita simak kisah “Kakek Penjual Amplop di ITB”.
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu
melihat seorang Kakek tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia
menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas
barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi
pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di
pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang
mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh
dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu
dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa
kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun Kakek
itu tetap menjual amplop. Mungkin Kakek itu tidak mengikuti
perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba
cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan
amplop untuk berkirim surat.Kehadiran Kakek tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran Kakek tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat Kakek tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu Kakek itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri Kakek tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkus plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi Kakek tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Kakek itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Kakek itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Kakek cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si Kakek tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, Kakek tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat Kakek tua itu untuk membeli makan siang. Si Kakek tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “Kakek-Kakek tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.
Si Kakek tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya Kakek tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si Kakek tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si Kakek tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si Kakek tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si Kakek tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Mari kita bersyukur telah diberikan kemampuan dan nikmat yang lebih daripada kakek ini. Tentu saja syukur ini akan jadi sekedar basa-basi bila tanpa tindakan nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar